Monday 19 August 2013

It's Complicated Part 2 (Monster Band)



Part. 2 (Monster Band)

Randy menelusuri jalannya dengan langkah santai. Dia memang pulang lebih lambat dari biasanya hari ini. Berlatih bersama rekan personil band-nya cukup membuatnya sedikit lelah, ditambah lagi diskusi di akhir latihan membuat pikirannya bergelut. Sekarang Ia telah hampir sampai menuju mobilnya. Seseorang memanggil namanya, itu teman satu band-nya.

“Ran, gue numpang ya! Hehe” Cengir Ray sang bassis menghampiri Randy.

“Ya elah. Mobil lo kemana emang?” Kata Randy ketus sambil menyandarkan dirinya ke mobil. Ray sudah biasa mengalami ekspresi ini jika berada di sekitar Randy atau Stevan. Yap, band mereka sendiri terdiri dari 5 personil yang beranggotakan Randy sebagai vokalis, Stevan sebagai gitaris, Ray sebagai bassis, Yosef sebagai pianis, dan drumernya adalah Gio. Sebuah band yang nyaris sempurna dengan keberadaan anggota – anggotanya. Jangankan masalah tampang dan kekayaan, selain kesempurnaan fisik dan material itu mereka juga memiliki kekuatan dalam bertarung. Hingga saat ini belum ada ‘preman – preman’ sekolah lain yang bisa mengalahkan mereka berlima. Ya kadang mereka tidak hanya berlima, dibantu juga dengan konco – konco yang selalu ada kapanpun mereka butuhkan. Tapi intinya mereka berlima tetaplah yang terkuat.

Ray menyengir lagi. Randy melongo, apa – apaan temannya ini. Bukannya mejawab pertanyaannya malah nyengir tak karuan. Ia merasa waktunya jadi terbuang karna Ray, bukannya apa, tapi Ia butuh istirahat sekarang ini.

“Lo ini numpang gue karna kere, atau karna mobil lo hilang diculik Gio lagi?” Kata Randy. Ray menyengir lagi. Temannya yang satu ini memang selalu ceria, kadang – kadang bisa jadi dungu juga. Tapi jangan sampai membuatnya marah, satu gedung bakal hancur karnanya. Itulah yang membuat pria – pria lain enggan berurusan dengannya. Selain kekuatannya yang bisa diandalkan, dia juga anak konglomerat yang pada hakikatnya semua hal bisa diatur dengan kekayaannya. Tapi Ray bukanlah orang yang suka membuang harta hanya untuk masalah tidak penting, Ia lebih suka berupaya dengan hasil keringatnya sendiri. Sekalipun itu dengan kekuatan bertarung yang dielu - elukannya

“Mobil gue bukan diculik Gio, tapi diculik Stevan. Gue numpang ya. Kita kan searah!” Seru Ray. Lagi – lagi Randy melongo.

“Apa? Stevan? Tumben bener tuh anak.” Gumam Randy tak percaya. Ray menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung juga menjelaskan seperti apa, soalnya dia juga tak mengerti.

“Gue juga ga tau. Gue pikir Gio yang nyolong kunci mobil gue. Eh pas gue maki – maki Gio yang bawa kabur mobil gue di parkiran Gio nya sendiri noyor kepala gue dari belakang. Trus bilangnya gini nih ‘lo pikir gue cowok apaan suka nyolong mobil orang sehari, asal lo tau itu tuh Stevan yang bawa kabur mobil lo’. Gue jadi ngelongo sendiri. Ngelongo karna Gio ngomong sok ga pernah bersalah gitu dan ngelongo karna ternyata yang bawa kabur mobil gue si Stevan.” Cerocos Ray sembari meniru gaya sok keren sohibnya yang bernama Gio itu. Randy tertawa.

“Haha. Parah bener dah tuh anak. Padahal yang suka bawa kabur mobil lo kan dia sendiri. Sok ga bersalah lagi tuh anak. Trus lo kenapa ga numpang Gio, bego.” Ucap Randy sambil menoyor kepala salah satu sohibnya itu.

“Maunya juga gitu. Tapi pas gue minta numpang, dia malah ngusir gue karna rumah gue dan rumah dia beda arah katanya. Coba aja tadi gue pake kekuatan level 10 gue. Mampus tuh anak. Kalau kali ini ga ada juga yang mau nganterin gue pulang, habis bener – bener dah tuh orang malam ini.” Sungutnya bermaksud menyindir makhluk yang ada dihadapannya.  Randy melanjutkan tawa. Ngeri membayangkan Ray menghabisi dirinya malam ini. Dan esok hari gambar jasadnya bisa dilihat di koran – koran dengan kondisi menggenaskan.

“Hahaha. Gue antar deh. Serem juga gue sama lo. Bisa – bisa dimutilasi juga gue.” Kata Randy kemudian memasuki mobilnya diikuti Ray yang nyengir penuh kemenangan. Ada untungnya juga dia punya kelebihan dalam kekuatan dan bertarung.
***
Stevan tertawa renyah. Menertawai kegilaannya sendiri di dalam mobil yang Ia colong dari Ray. Tentu saja Ia akan mengembalikannya besok disekolah. Jika orang – orang bertanya sejak kapan Stevan memiliki kegilaan seperti ini, jawabannya adalah sejak hatinya digores oleh gadisnya itu. Siapa lagi jika bukan Bella? Ya, karna dialah yang menggores luka dihati Stevan. Perkataan Bella di kelas siang kemarin membuat hatinya sakit. Awalnya Stevan hanya ingin mencoba sesuatu yang gila untuk menghilangkan lukanya ini. Tetapi Ia tak tau apa hal gila itu. Yosef, salah satu sohibnya menyarankan kegilaan ini. Menculik mobil si kekuatan super seperti yang sering dilakukan Gio katanya. Kegilaan sederhana yang membuat Stevan ingin mencobanya. Bukannya apa, dia hanya ingin melihat wajah kejam Ray mendatanginya besok yang seakan – akan ingin membunuhnya. Ia tertawa lagi. Jika Ia sesekali dihabisi Ray, mungkin sakit dihatinya akan hilang. Dasar pemuda sinting.
Ponsel Stevan berdering. Sebuah pesan singkat memasuki ponselnya. Stevan segera meraih ponselnya. Ia tertawa lagi setelah membaca pesan singkat yang dikirimkan Ray untuknya.

Kembaliin mobil gue besok, atau jenasah menggenaskan lo bakal tertampang dihalaman utama koran – koran besok!!!
From: Monster Ray

Merinding juga Stevan membaca pesan sohib satu band-nya itu. Bagaimana jadinya ya kalau yang dikatakan Ray itu jadi kenyataan. Stevan malah tersenyum miring seraya membalas pesan itu.

Iye, suparman. Gue bakal kembaliin mobil lo dengan utuh besok. Kalau perlu dengan bonus barbie didalamnya.
To: Monster Ray

Stevan hendak melempar ponselnya ke kursi disebelahnya sebelum ada pesan lagi yang masuk. Cepat juga Ray membalas pesannya, batin Stevan.

Stevan mengerutkan dahinya setelah melihat siapa yang mengirim pesan. Jantungnya berdetak lebih kencang hingga tangannya tak sabar untuk membuka pesan itu.

Ga usah. Ntar gue dibunuh massal sama fangirls lo.
From: My Bella

Stevan menyeringai sebelum membalas pesan gadisnya.

Jadi kalau cewek2 itu ga ada lo mau berangkat sama gue?
To: My Bella

Lagi – lagi Stevan tersenyum senang. Mungkin Bella sebenarnya mau berangkat ke sekolah bersamanya tapi dia gengsi untuk mengatakan yang sebenarnya dengan memakai alasan takut digebukin sama fangirlnya. Dalam hati Stevan juga kesal mengingat fangirlnya selalu saja membuat ulah. Dulu Prissa juga pernah dimusuhi massal oleh fangirlnya, tapi yang namanya Prissa mau dibenci seluruh dunia pun dia tetap tak peduli. Ngomong – ngomong soal Prissa, emangnya sakit apa lagi ya dia. Stevan jadi mengingat obrolan terakhirnya beberapa bulan lalu bersama Prissa. Hingga sekarang Ia jadi enggan berbicara dengan mantan kekasihnya yang sekarang menjadi sahabatnya itu. Stevan menghela nafas. Ia sebenarnya tak enak hati mendiamkan sahabatnya seperti ini. Tapi mengapa juga si Prissa membuat ulah sehingga Stevan jadi enggan menegurnya begini. Sebenarnya siapa yang salah? Stevan yang terlalu egois tak mau mengerti perasaan sahabatnya atau Prissa yang juga terlalu egois hingga tak pantang menyerah untuk mendapatkan hatinya lagi?

Ah sudahlah, erang Stevan. Dia akan berusaha membuat Prissa membuang jauh – jauh perasaan itu lagi. Lagipula mereka lebih nyaman jika hanya bersahabat, tak lebih. Mungkin mulai besok Ia harus meminta maaf pada Prissa demi persahabatan mereka sendiri.

Pikiran Stevan tengah asik bermonolog ria dengan topik sahabatnya itu, sehingga ketika sebuah benda bergetar dan berbunyi Ia masih terlalu kaget untuk menyadarinya. Untung juga jalanan sedang sepi mengingat ini sudah jauh malam. Dengan sigap Ia membaca pesan yang masuk, Ia tersenyum hangat. Walaupun isinya singkat dan tak sesuai dengan apa yang dinginkannya.

Never!
Udah ah, gue mau tidur.
From: My Bella

Ya deh. Selamat tidur, my Bella.
Have a nice dream. Jangan lupa masukin gue dimimpi lo J
To: My Bella

Stevan masih tersenyum hangat. Walau Ia tau pesannya tak dibalas lagi. Ia masih mati penasaran dengan gadis ini, gadis yang telah berhasil mencuri hatinya dengan segala kesederhanaannya. Dan teganya Ia tak bertanggung jawab atas perasaan yang telah dicurinya ini, malah seenaknya meninggalkan hatinya bagai ruangan kosong. Tapi Stevan percaya suatu saat Bella akan mengerti betapa hatinya begitu tulus mencintainya. Ya, suatu saat Ia akan tau.
***
Bella berlari tergesa – gesa dari arah gerbang sekolah. Dia sedikit terlambat hari ini dan sialnya jam pelajaran pertama itu si Miss Killer, Miss Anna guru bahasa inggris mereka. Sialnya lagi, Miss Killer itu guru paling disiplin disekolah ini setelah guru BK. Seakan ingin membuat kesialan Bella tambah buruk, gedung sekolah yang terpampang didepan pandangan Bella pun ikut – ikutan mengejeknya seolah – olah berkata ‘masih 3 lantai, nona’ sambil menyeringai.

“Sial.” Ujar Bella sambil terus berlari.

Ia benar – benar harus berjuang untuk jadi pelari maraton dadakan hari ini. Kenapa juga ruang kelasnya harus ada dilantai 3? Kalau bisa dan kalau ini tak mustahil, Ia akan berteriak minta tolong pada angkasa agar Superman datang menolongnya dan membawanya terbang menuju ruang kelasnya dalam sepersekian detik. Bella meringis. Sempat – sempatnya Ia memikirkan hal yang tak masuk akal disaat genting begini.
***
Sementara di kelas…
Stevan terus memandangi kursi disebelahnya dan pintu ruang kelasnya secara bergantian. Sorot matanya memperlihatkan kepanikan. Apa jangan gara – gara dia mengajak Bella untuk berangkat ke sekolah bersamanya makanya Bella hari ini enggan untuk masuk sekolah juga. Ah, rasanya Bella tidak se-parno itu. Tapi ia benar – benar penasaran kenapa Bella belum datang juga atau malah mungkin Bella tidak masuk sekolah hari ini. Stevan melirik jam tangan hitam casualnya. Semenit lagi akan berbunyi bel masuk sekolah. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tak beres dengan Bella. Ya mungkin Ia saja yang berlebihan. Tetapi entah mengapa hatinya gelisah, seakan ikut merasakan apa yang gadis pujaan-nya itu rasakan. Ia menggelengkan kepala. Ia memikirkan apa sampai Ia sepanik ini.
***
Tek, tek, tek. Suara langkah itu kian melaju dipadu dengan senggalan nafas yang mati – matian pria itu rebut. Beberapa gedung lagi, ya beberapa gedung lagi. Ucap hatinya miris.

Teeetttttt. Hampir saja Bella mati jantungan mendengarnya.  Sial, udah masuk. Batin Bella tak karuan. Bella menggerutu kesal. Ini bahkan masih dilantai satu. Masih ada 2 lantai yang harus Ia tempuh. Dan sialnya itu pasti akan memakan waktu beberapa menit hingga sampai ke ruang kelasnya. Ia ingin menyalahkan gedung sekolah yang terlalu besar itu untuk dijadikan arena lari – larian seorang pelari maraton dadakan. Bella berhenti sejenak untuk berpikir.

“Kalau gue masuk, pasti gue bakal dihukum seharian. Sama aja gue ga bakal masuk kelas hari ini. Tapi kata pepatah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Nah…jadi bingung gue.” Gumamnya sendiri.

Pada saat yang sama. Pria yang telah melangkah sejauh ini walau masih di koridor lantai satu itu sedang kembali merebut oksigen di udara setelah dikagetkan dengan suara bel yang seakan memakinya itu.

“Sialan. Gue gak bakal bisa masuk nih. Pasti dihukum seharian. Males gue.” Gumamnya malas. Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Gue bolos aja kali ya.” Ucap mereka bersamaan. Keduanya bingung, sejak kapan gema suaranya berubah gender? Karna diliputi penasaran, akhirnya keduanya menoleh menuju arah suara yang mereka anggap gema suaranya tadi. Kemudian kedua manusia itu melongo kompak.

“Randy?”

“Bella?”

Yap, Randy dan Bella bertemu dalam suatu insiden yang sama – sama menimpa mereka. Bella tersenyum lembut. Randy ikut tersenyum. Kemudian mereka berlari kecil menuju suatu tempat yang mereka jadikan tempat persembunyian yang aman sebelum ketahuan terlambat masuk kelas. Tepatnya Randy-lah yang mengajak.
***
Dan disinilah mereka. Disebuah taman terpencil yang tak terlalu jauh dari sekolah. Tak banyak orang yang ada ditaman ini. Hanya ada sepasang kekasih, seorang pria paruh baya yang asik membaca koran sambil memperhatikan anak - anaknya bermain riang ditaman playgroup yang ada ditaman itu.

Sambil menikmati es krim ataupun minuman instan yang mereka beli disebuah kafe tadi, Bella dan Randy menikmati suasana taman rindang. Taman itu memang hanya sebuah taman kecil. Tapi pohonnya rindang dan udaranya sejuk. Tempat santai yang tepat untuk dijadikan tempat pelarian dari berbagai polusi di kota. Namun sayangnya taman ini tak terkenal karna letaknya tidak berada ditepi jalan besar, melainkan harus memasuki jalan setapak lagi beberapa meter.

“Lo terlambat kenapa?” Tanya Randy sambil memainkan gadgetnya.

Bella tersenyum, berhenti sejenak memakan eskrimnya.

“Gue telat tidur semalam. Insomnia. Lo sendiri?” Tanya Bella, kemudian melanjutkan aktivitas melahap eskrimnya perlahan.

“Sama gue juga telat tidur. Tapi gue gak insomnia. Gue latihan band semalam, ada diskusi lagi buat lomba festival band hari Sabtu. Jadilah gue telat pulang dan telat tidur juga.” Jawab Randy sekenanya.

“Oh gitu. Anak band toh. Band lo namanya apa?”

“Monster Band. Tau?” Sebenarnya jika Bella bukan anak baru, Bella tak akan repot – repot menanyakan ini pada Randy. Dan Randy pun tak perlu repot – repot memberitaunya. Karna Ia dan Band-nya sangat dikenal di sekolah dan di beberapa sekolah lain. Dan tentu saja mereka sangat populer dikalangan kaum hawa.

“Gue pernah denger sih. Tapi gue gak pernah tau siapa aja personilnya. Eh, ternyata lo salah satunya. Band terkenal dong?” Tanya Bella. Randy tertawa pelan.

“Terkenal karna apa menurut lo?” Bella berhenti memakan es krimnya sejenak. Berpikir atas pertanyaan Randy. Kemudian memutar bola matanya bosan.

“Karna tampang kalian?” Ucap Bella datar. Randy meminum minumannya sejenak sebelum menjawab Bella.

“Hmm…  Sedih banget gue ternyata masih ada orang yang belum tau reputasi ‘kita’. Monster Band itu terkenal karna selain personilnya menarik –ehem, kita itu preman nomor satu di sekolah.”

Bella menoleh tak percaya.

“Wow. Preman bertampang artis.” Ucap Bella asal.

“Hahaha. Tapi kita bukan tipe orang yang menomor satukan penampilan fisik, kita mengutamakan yang namanya kualitas.”

“Bagus dong. Emang siapa aja sih personilnya?” Tanya Bella serius.

“Gue sebagai vokalis, Ray di bassis, Yosef pianis, Gio di drumer, dan Stevan sebagai gitaris.”

“Stevan?” Gumam Bella sambil berpikir.

“Ya, Stevan anak kelas lo itu. Pangeran Stevan kata ‘anak – anak’.” Ucap Randy santai. Bella mendengus mendengar penuturan Randy yang terakhir.

“Gue sebel sama tuh orang.” Kata Bella.

“Kenapa? Bukannya selama ini semua cewek – cewek pada ngefans sama tuh anak.” Ujar Randy heran.

“Nyebelin dia. Udah ah, ga usah dibahas. Ngomong – ngomong elo juga kan banyak fangirls nya tuh. Hmm…” Jeda Bella pelan. “…gak apa nih gue sama lo? Ntar gue digebukin lagi sama fangirls lo. Sama kayak fangirlsnya si pangeran sekolah itu. Huh” Lanjut Bella dengan gerutu kecilnya. Randy tertawa pelan melihat tingkah Bella.

“Tenang aja. Kalau mereka berani anarkis sama lo. Gue dan tim gue siap jadi bodyguard lo. Haha. Emangnya kenapa para fangirls nya Stevan mau gebukin elo? Pasti lo deket ya sama Stevan..” Ujar Randy dengan pandangan lurus kedepan. Bella diam untuk beberapa saat.

“Gimana ya.. Gue juga bingung ngejelasinnya. Gue gak deket sih sama dia. Cuma, menurut anak – anak terutama fangirls nya bilang kalau dia itu, hm… suka sama gue. Gue gak tau sih bener atau gak. Tapi gue kan ga suka. Karna…”

"…udah ada orang lain yang ngisi hati gue..” Gumam Bella sembari menoleh pelan pada Randy. Randy tak menyadari bahwa kalimat terakhir itu ditujukan padanya. Randy juga ikut terdiam sejenak. Menerawang dasar hatinya yang dalam.

“Lo ternyata beda. Si Prissa aja sampai ikut – ikutan ngefans. Eh, gak ngefans sih. Mungkin…” Randy menunduk sedikit. Sorot matanya meredup. “…cinta?” Lanjut Randy terdengar miris.

Bella menyadarinya. Ya, dia menyadari kalimat yang diucapkan Randy itu terdengar pilu. Bella bertanya – tanya apa maksudnya. Apakah Randy cemburu? Ahh, tidak. Bella tak siap menerima kenyataan bahwa yang dicintainya justru mencintai sahabatnya sendiri. Hati Bella berdegup tak biasa. Ia tak rela, hatinya tak rela jika yang dipikirkannya adalah kenyataan. Semoga tidak, Bella berharap.

Keduanya mengisi keheningan ini dengan kesibukan masing – masing. Sibuk merantau sebuah perasaan yang terselubung dalam hati mereka. Keduanya sama – sama merasa patah hati.

“Eh, kok pada diam gini sih kita. Ngomong – ngomong ini udah jam berapa?” Kata Randy memecah keheningan. Bella yang baru tersadar pun langsung memeriksa jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Kemudian menghela nafas lega.

“Masih jam 9 kok Ran. Eh, lo udah lama sahabatan sama Prissa? Tanya Bella.

“Lumayan lama. Dari kelas 3 SMP. Waktu pertama gue mulai dekat sama dia, pas di pingsan di sekolah. Jadi gue yang tolongin gitu. Lo tau kan kalau dia punya penyakit.” Ujar Randy sambil mengingat – ngingat memorinya dulu.

“Iya gue tau. Leukimia ya? Kasian juga tuh anak.. Pantesan mukanya sering pucat dan lemas. Tapi dia hebat, bisa jadi artis gitu. Walaupun dia gak aktif jadi seorang artis sih karna kondisi fisiknya.” Papar Bella murung.

Randy merenggut, dia jauh lebih prihatin. Baginya Prissa adalah belahan jiwanya. Randy tanpa Bella adalah mati. Segitunya kah? Randy pun ragu. Tapi dia yakin seyakin – yakinnya bahwa cintanya ini lebih dalam dari titik terendah samudra sekalipun. Hatinya sakit jika mengingat kondisi kesehatan Prissa. Ia jadi menerawang apa yang Prissa lakukan sekarang, dan bagaimana kondisinya. Ah, Randy jadi menyesal terlambat masuk sekolah hari ini. Itu berarti Ia tak berada di dekat Prissa seharian ini. Ia melewatkan kegiatan rutinnya untuk memandang dan menjaga Prissa hari ini.

“Prissa itu selalu terlihat tegar. Padahal Ia serapuh kepingan es.. Uhh….” Ujar Randy seraya menghela nafas. Kemudian Ia baru ingat sesuatu.

“Oya Bell. Ntar lo sama Prissa datang ya ke festival band hari sabtu. Dukung Monster band!” Kata Randy.

“Oke sip… Ganbatte ya!” Jawab Bella seraya tersenyum. Randy membalas senyumnya sambil mengangguk. Bella merasakan ada angin sejuk berhembus sepanjang senyuman Randy. Namun Randy tak menyadarinya –lagi, karna Randy langsung menoleh memandang lurus ke depan. Ia menghentikan aktivitas memasukan oksigen Bella selama sepersekian detik. Bella menyadari perasaannya ini, Ia sayang Randy. Senyuman Randy yang hangat secara otomatis terekam otaknya dan memasukan momen itu ke dalam daftar adegan favoritnya.

Ponsel Randy berbunyi menandakan ada sebuah pesan yang masuk. Dengan segera Randy membuka pesan itu setelah melihat bahwa pengirimnya adalah salah satu sohibnya, Yosef.

Ran, Prissa pingsan lagi. Dia lagi di rumah sakit sekarang!
From: Monster Yosef


Hati Randy langsung tersentak keras. Dia terlalu khawatir pada belahan jiwanya itu. Ia hampir saja berlari meninggalkan tempatnya sekarang selum Ia menyadari sosok gadis yang menemaninya sedari tadi. Bella memandang Randy bingung, sorot matanya penuh tanya. Segera Randy menarik tangan Bella halus, membawa Bella mengikuti arahnya. Randy menjelaskan yang terjadi. Bella merutuki diri, tadi sempat – sempatnya Ia merona malu karna Randy menarik tangannya. Pahadal keadaan begitu genting sekarang tengah menimpa sahabatnya.
***
Selama perjalanan Bella terus khawatir pada kondisi Prissa. Ia terus mengucapkan doa dalam hati. Randy jauh lebih khawatir lagi, Bella malah menilainya sebagai ungkapan depresi Randy. Terlihat dari cara Ia mengemudikan mobilnya dengan panik dan memaki - maki sendiri jalanan kota yang macet. Bella harusnya merasa cemburu akan kekhawatiran besar yang Randy berikan pada Prissa. Tapi tak ada waktu untuk memikirkan itu. Yang Ia pikirkan sekarang adalah Prissa, hanya Prissa. Walau belum terlalu lama Ia mengenal sahabatnya itu, tapi ia sudah merasa dekat dengan Prissa. Ia menyayangi Prissa sama seperti saudaranya sendiri.

Akhirnya mereka sampai di rumah sakit yang paling dekat dengan sekolah, di rumah sakit tempat Prissa dirawat sekarang ini. Dengan segera Randy menuju kamar yang telah di beritahu Yosef lewat sms tadi. Bella mengejar langkah Randy yang lebar. Ia tertinggal sedikit di belakang. Akibatya Randy sampai terlebih dahulu di depan kamar rawat Prissa dan melenggang masuk karna sudah terlalu khawatir. Randy terkejut dengan pemandangan di depannya kini. Pemandangan dimana Stevan sedang memegang lengan Prissa yang terbaring lemah tak sadarkan diri. Randy meringis kala hatinya menjadi pilu. Ia tertahan di pintu kamar selama beberapa waktu, mencoba menetralisir hatinya.

Bella menyusul berberapa saat kemudian. Dengan nafas tersenggal Ia memandang Randy yang masih beronggok dipintu kamar rawat yang terbuka itu. Diliriknya ke dalam ruangan serba putih itu, kemudian Ia paham. Dengan ini semuanya menjadi jelas. Randy tak lagi menoleh pada wanita lain, Ia hanya memandang satu arah pada seorang gadis yang telah menjadi sahabatnya. Hati Bella teriris tak rela. Walau tadi Ia sudah mencoba menilai tentang cara bicara Randy soal Prissa di taman. Tadinya Ia yakin Randy menganggap Prissa tak lebih dari seorang sahabat. Tapi sekarang berbeda, Ia paham betul mengapa Randy tak langsung memasuki kamar rawat Prissa setelah tau apa yang membuat Randy membatu melihat pemandangan di depannya. Tak mungkin seseorang cemburu melihat sahabatnya bersama orang lain, kecuali karna memang ada cinta pada orang itu.

Lagi – lagi hatinya meronta. Air matanya tergenang tertahan. Bella merutuki diri, sejak kapan Ia jadi se-sayang ini pada Randy? Ia tak mengerti, bukankah waktuya terlalu cepat untuk jatuh cinta? Ia mencelos. Untuk apa berpikiran begini disaat – saat Ia harus memikirkan kondisi sahabatnya. Bella mencoba bersikap santai dan seolah – olah tak terjadi apapun pada dirinya.

Bodoh. Lo bodoh Bella. Rutuk Bella dalam hati. Ia memandang Randy dan menyentuh bahu pemuda itu. Randy menoleh dan terkejut sebentar.

Jadi, disinikah paradoks cinta mereka yang rumit? Cinta segiempat, eh?

To be continue....

No comments:

Post a Comment

I accept all kind of comments (including flame). I need your opinion about my works, so I'll better than this time. Don't forget to comment, guys :)