Guys, kali ini saya datang membawa sebuah cerbung baru! Ini bab pertama dan saya butuh komentar dari kalian semua untuk kelanjutan cerbung ini. Semoga masih ada yang berminat membaca di blog saya ya. Baiklah, selamat membaca.... :)
“It’s Complicated”
“It’s Complicated”
Cinta, suatu hal
yang takkan bisa terlepas dari sebuah aspek kehidupan. Beberapa orang bahkan
menggantungkan hidupnya pada sebuah cinta. Dan sebagai akibatnya, hidup yang
seharusnya sederhana justu menjadi rumit. Sangat rumit.
Ketika kita
dihadapkan pada banyak pilihan cinta, justru hanya satu yang dapat menggoncang
hati kita. Kerumitan yang dapat disebabkan cinta tidak hanya sampai disitu.
Kita bahkan dapat menjadi gila dan membuat hidup seolah – seolah rumit hanya
karna satu hal itu. Cinta.
Awan putih yang
bergantung – gantung dilangit itu seperti cinta. Bentuknya rumit, abstrak.
Tetapi… Proses terjadinya awan bahkan begitu sederhana, bagaimana caranya Ia
berbentuk seperti itu juga bisa kita uraikan dalam logika sederhana. Satu kata
sederhana untuk awan itu. Sebuah kata yang mewakili definisi cinta, tetapi
mengapa kita menjalaninya begitu rumit? Ketika kita ditubruk dengan masalah
hati, misalnya ketika kita begitu mencintainya namun tidak begitu dengannya.
Apakah kamu masih merasa bahagia jatuh cinta? Apakah semudah itu kamu
melupakannya? Jawabannya TIDAK. Bahkan jika kita dihadapkan dengan cinta yang
jauh lebih baik, kamu bahkan tak bisa melupakannya walau sedetik saja.
Kenyataan cinta memang begitu miris jika kita sandingkan dengan logika pintar
kita. Walau begitu, kita tak bisa mengelaknya. Takkan bisa. Untuk menghapusnya
saja, kita harus menunggu waktu yang menjawabnya.
***
Part 1.
(Teman)
Bella mengetuk -
ngetukkan kakinya pelan mengikuti suara musik yang terdengar dari benda ajaib
bernama earphone. Mendengarkan lagu bersemangat sambil membaca novel bergenre
adventure merupakan pilihan yang paling bagus pada saat istirahat berlangsung.
Sekedar membuang kebosanan karna semenjak sebulan Ia berada di SMA ini belum
ada teman yang bisa Ia gandeng kemana – mana. Bukan, bukan karna Ia terlalu
kuper atau orang – orang menjauhinya karna Ia adalah seorang gadis yang buruk
rupa. Bahkan wajahnya yang manis itu sanggup membuat semua pria yang ada di
sekolah ini mengejarnya. Tapi justru itulah masalahnya. Bersamaan dengan
insiden itu, para wanita malah menjauh darinya. Sebagian besar menganggapnya
perebut cowok orang dan sebagainya. Hilanglah sudah khayalan Bella untuk
mendapat teman – teman baru yang seru. Tapi itu juga tak jadi masalah berat buatnya.
Bukan karna Ia kebal dengan keadaan seperti ini. Tapi karna Ia berkomitmen
untuk mampu menahan rasa sakit ini sementara. Ya, sementara sampai Ia lulus
dari sekolah ini. Ada bagusnya juga Ia pindah ke sekolah ini pada saat Ia
menduduki kelas 12.
Bella sudah
membaca novelnya hingga seperempat dari halaman keseluruhan, kemudian Ia
mengalihkan pandangannya ke sekitar isi kelas sekedar mengecek apakah Ia sudah
sendirian di kelas. Nyatanya Ia belum sendiri. Cowok itu masih ada di kelas, ya
selalu seperti itu. Bella bahkan pernah mendengar tanpa bermaksud menguping
dari pembicaraan segerombolan wanita dikelas bahwa cowok yang bernama Stevan
itu sekarang lebih sering diam di kelas pada saat istirahat semenjak ada si
cewek baru. Ya tak perlu otak jenius untuk menerjemahkan si cewek baru itu
siapa, karna di sekolah ini setau Bella hanya Ia lah anak baru yang pindah ke
sekolah ini pada tahun ini. Berlanjut ke pembicaraan cewek – cewek itu, mereka
juga menyinggung – nyinggung mengapa si pangeran sekolah yang nyaris perfect
itu juga ikut – ikutan naksir si cewek baru. Padahal selama ini si pangeran
menggandeng cewek saja jarang, bahkan nyaris tak pernah. Jika pernah itupun
bersama si artis sekolah yang namanya Prissa dan tidak berlangsung lama. Bella
mendengar lagi bahwa mereka selalu menggerutu seperti ini ‘Apa sih bagusnya si
Bella, bukannya kita – kita jauh lebih baik ya. Bakalan diatas angin ntar tuh
anak’.
Hah memangnya
mereka tau apa tentang gue. Seenaknya judge orang sembarangan, emangnya pernah
kenal sama gue. Gerutu Bella dalam hati. Lagipula gue gak pernah suka sama si
pangeran sekolah itu, gue kesini untuk sekolah kale. Lanjutnya walau masih
dalam hati.
Tanpa bermaksud untuk
kepedean, Bella memang mengakui pernyataan mengenai hasil observasi cewek – cewek
itu mengenai si pangeran sekolah yang selalu berada di kelas pada saat
istirahat. Bahkan si Steven atau siapalah itu tak sungkan – sungkan untuk
berpindah tempat duduk di sebrang mejanya. Setelah sebelumnya Ia duduk di
barisan depan. Memang sih Ia selalu membaca sebuah komik anime buatan Jepang
itu. Tapi entahlah apa yang dipikirnya pemuda itu, batin Bella.
Bella juga mengakui
bahwa pemuda itu memang tampan, keren dan otaknya tak diragukan lagi. Karna
setaunya di kelas Ia sering disuruh untuk mengerjakan soal – soal oleh Guru dan
hasilnya slalu benar. Tapi Bella tak pernah tuh merasa hatinya bergemuruh
ketika melihatnya.
Ah, daripada Ia
pusing – pusing memikirkan hal yang kurang penting itu, lebih baik Ia kembali
membaca novelnya.
Sebenarnya tanpa
Bella tau, hati Stevan bergejolak dan berpesta kala Bella meliriknya diam –
diam. Sudah 15 kali Ia menghitung lirikan Bella itu. Tak sia – sia Ia
mengorbankan waktu istirahatnya hanya untuk melihat wajah dan ekspresi gadis
manisnya itu. Persetan dengan gosipan cewek – cewek yang merupakan fangirlnya
yang selalu ikut campur dengan kehidupannya itu. Mereka memang selalu begitu.
Yang penting Ia merasa bahagia menemukan perasaan ini, batinnya sambil
tersenyum. Harus Ia akui, gadis bernama Bella itu berhasil merebut cintanya.
Cinta pertamanya.
“Evan, gue mau curhat..” Kata seorang gadis cantik yang tiba – tiba duduk didepan meja Stevan. Kontan membuat Stevan dan Bella yang sedari tadi sibuk dengan pikiran masing – masing terkejut dan langsung menoleh ke sumber suara.
Sang gadis cantik
tertawa melihat kekonyolan ini. “Haha, ayolah. Ada apa dengan kalian? Kok sama
– sama kaget begitu. Emangnya gue setan..” Ujarnya. Bella yang merasa tidak ada
urusannya dengan gadis itu langsung kembali membaca novelnya. Ia tidak mau
dianggap ikut campur urusan orang. Sudah cukup Ia dibenci karna para pria
mengejarnya.
“Ya siapa suruh
elo datang tiba – tiba.” Ujar Stevan singkat. Melanjutkan bacaanya di komik.
“Ya maaf. Eh gue
mau curhat Van. Lo ga mau denger.” Sungut gadis itu.
“Yaudah cerita
aja. Gue dengar.” Lanjut Stevan cuek. Bosan dengan tingkah laku cewek
dihadapannya ini.
Gadis itu
mendengus. Sudah biasa dengan perlakuan Stevan untuknya. Tapi Ia takkan
menyerah untuk mendapatkan perhatiannya lagi. Ya, takkan pernah.
“Kalau lo masih
baca komik gimana lo mau denger curhatan gue Van. Lo makin hari makin jauh dari
gue. Benci ya lo sama gue. Kata lo kita masih bisa saha…”
“Iya iya, inget
gue. Nih gue udah ga baca komik lagi. Sekarang cerita apa masalah lo.” Potong
Stevan cepat karna sudah tau apa yang selalu diujarkan gadis itu jika Ia tak
berlaku seperti sahabat. Gadis itu tersenyum senang.
“Kayak psikiater
aja lo kalau ngomong gitu. Hihi..” Ejeknya. Stevan memutar bola mata bosan. Ia malas
membuang waktu seperti ini. Gadis itu tau ia harus cepat bercerita. Mengingat
apa yang akan diceritakannya matanya menjadi sendu kembali. Stevan
menyadarinya, agak sedikit prihatin juga jika melihat gadis itu sedih begini.
“Akhir – akhir
ini kesehatan gue turun lagi. Gue ga tau berapa lama ini berlangsung. Gue cuman
pengen sembuh dan hidup normal kayak orang – orang Van. Dan gue…” Air matanya
mulai menetes tak berdaya. Ia menatap Stevan lebih sendu. “…pengen ngerasain
cinta lagi disisa hidup gue. Lo tau kan Van kalau gue…”
“Berhenti.”
Stevan muak dengan ini. Ia tau apa yang akan disampaikan gadis itu. Ia boleh
saja menangis dihadapannya dan bercerita tentang apapun kondisinya. Tapi
tolong, jangan sangkut pautkan ini dengan hatinya itu. “Jangan buat kondisi lo
jadi alasan gue harus kembali, Prissa. Gimanapun hati ga bakal bisa dipaksa.
Gue bersedia jadi sandaran buat lo seumur hidup gue, tapi sebagai sahabat
sejati. Bukan sebagai… Ah ya, dan gue yakin kesehatan lo bakalan sembuh cepat
atau lambat. Maaf Pris, hati gue lagi kacau. Jangan ganggu gue dulu.” Ujar
Stevan sambil melengos pergi keluar kelas. Gadis bernama Prissa itu semakin
kacau. Air mata yang tak berdaya semakin senang turun ke pipinya yang mulus.
“Van, please…”
Cicit Prissa memandangi punggung Stevan yang semakin menjauh.
Drama apa ini.
Batin Bella setelah melihat Prissa Menangis. Dia cantik, pikirnya. Tapi kenapa
Stevan menolaknya mentah. Entahlah, Bella juga kurang yakin apakah Stevan
menolaknya. Ia tak begitu mendengarkan pembicaraan dua insan di sebrang
mejanya. Yang Ia tau Stevan marah kepada gadis itu. Jika dilihat dari cara
Stevan kabur, Ia seperti menolak keberadaan gadis cantik itu. Ah, kasian juga
melihatnya. Batin Bella. Agak takut Ia mulai mencoba berbicara pada Prissa. Ia
tau ini bukan urusannya, tapi Bella tau perasaan Prissa saat ini. Bagaimanapun
juga Ia juga wanita yang sangat mengerti perasaan Prissa.
“Hmm… L-lo ke-kenapa?”
Ujar Bella gugup. Sambil melepaskan earphone yang sedari tadi setia menemani
kesendiriannya.
Prissa menoleh.
Ia baru ingat ada gadis yang duduk disitu. Sepertinya Ia benar – benar kacau
hingga melupakan keberadaan gadis itu. Ia butuh sandaran sekarang, apa salahnya
Ia menjadikan gadis itu sebagai teman barunya. Sepertinya Ia baik, batin
Prissa.
Prissa mulai
pindah duduk di sebelah Bella. Bella kaget setengah mati. Selama sebulan ini
semua cewek menolak untuk berada didekatnya, tapi cewek ini mau duduk
disampingnya.
“Gue boleh
curhat?” Tanya Prissa sendu. “Oh ya, nama gue Prissa. Lo siapa? Gue baru liat
lo.” Kata Prissa sambil menjulurkan tangan.
Bella gugup,
benar – benar gugup. Ini Prissa, yang didengarnya sempat menjadi kekasih
Stevan. Dan kalau Prissa tau bahwa dirinya adalah Bella, Bella yang menjadi
alasan Stevan selalu berada dikelas pada jam istirahat apakah Ia masih mau
mengenalnya lagi? Cukup sampai disinikah kebahagiannya mendapatkan seorang
teman. Ah tidak, maksudnya calon teman. Pikirannya bergelut, sehingga Ia
terlalu lama mengulur waktu untuk menyambut tangan Prissa. Ia ragu.
“Kok diem? Hey..”
Kata Prissa sambil melambaikan tangannya di depan wajah Bella yang menunduk.
Bella tersadar.
“Engh maaf, g-gue
Bella. Salam kenal. L-lo boleh cerita apa aja ke gue.“ Jawabnya sambil
menyunggingkan senyum ragu. Mengulur tangannya lagi. Prissa membalas jabatan
tanggannya. Tersenyum balik, melupakan air mata yang tadi turun membasahi
wajahnya.
“Salam kenal
juga. Anak baru ya?”
“Yaa, begitulah..
He” Kata Bella. Mensyukuri fakta bahwa Prissa tak menolak menjadi temannya
setelah Ia tau namanya. Mungkin Prissa tak pernah mendengar gosip tentangnya.
Mungkin.
“Ohh, ini toh
anak baru yang sering diomongin anak – anak. Memang cantik ya.” Deg. Dugaan
Bella salah. Prissa bahkan sering mendengar gosipan tentangnya. Bagaimana ini.
“Yang diomongin
anak – anak gak bener kok.” Kata Bella berusaha meyakinkan Prissa. Prissa
tersenyum manis.
“Anak – anak
disekolah ini emang gitu. Soal gosipan yang sering mereka bicarakan emang
nyakitin. Tapi gue saranin jangan dihiraukan, ntar malah sakit sendiri.” Jawab
Prissa. Bella menghembus nafas lega. Ada juga yang mau mengerti perasaannya.
Prissa ini cantik, baik pula. Tapi, mengapa dia menangis tadi.
“Makasih ya. Gue
kira lo bakal menjauh dari gue kayak yang lain. Ternyata nggak. Lo malah ngasi
pengertian buat gue.” Kata Bella tersenyum tulus. Prissa membalasnya.
“Iya Bell.. Asal
lo tau, gue juga sama kayak lo. Jadi ga punya temen gara – gara profesi gue.
Nggak tau dah mereka iri atau apa. Tapi gue masih bersyukur di sekolah ini ada
juga fan gue yang baik.” Ujarnya. Bella mengagumi Prissa. Nyaris sempurna
pikirnya.
“Emmh, iya Priss.
Ngomong – ngomong kamu kenapa nangis tadi? Maaf ga bermaksud ikut campur.” Kata
Bella pelan. Prissa sedikit menunduk. Dia memang baru saja mengalami masalah
berat tadi, dan ingin bercerita pada Bella. Tapi entah mengapa hatinya sekarang
berkata bahwa Ia belum siap bercerita. Mungkin suatu saat Ia akan bercerita
tentang dirinya, pikir Prissa. Toh Ia yakin Bella akan menjadi sahabat yang
baik untuknya.
“Suatu saat bakal
gue ceritain. Gue belum siap sekarang.” Bella bingung, bukannya tadi Ia sendiri
yang mengatakan bahwa Ia ingin curhat.
“Oh yaudah,
semoga masalah lo cepat selesai ya?” Kata Bella sambil tersenyum. Prissa
membalasnya. Sepertinya mereka benar – benar akan menjadi sahabat baik setelah
ini.
***
“Priss, dari mana
aja? Gue cariin dari tadi.” Kata seorang pria setelah Prissa duduk
disebelahnya. Prissa hanya mendengus.
“Mau tau aja.”
Ujarnya. Pria itu menggeleng tak mengerti mengapa Prissa selalu mengacuhkannya.
Cobalah sedikit
untuk melihat yang ada disini. Batin pria itu.
“Randy, lo liat
android gue gak?” Kata Prissa sibuk memeriksa saku seragamnya dan tasnya.
“Gak ada Pris.
Kan elo daritadi ga sama gue. Gimana sih lo.”
Kata Randy, si pria itu ikut – ikut memeriksa area laci meja mereka.
Prissa menepuk jidatnya, baru ingat. Randy hanya terbengong.
“Pasti
ketinggalan di mejanya Bella deh.” Kata Prissa cepat. Randy mengerutkan kening.
“Bella temen baru
lo itu?” Tanya Randy. Prissa mengangguk. Ya, sudah dua bulan berlalu sejak insiden
di kelas itu memamng membuatnya bersahabat baik dengan Bella. Tapi Bella belum
mengenal Randy sampai saat ini. Bahkan mungkin belum melihatnya.
“Berapa lama lagi
bel masuk kelas?” Tanya Prissa. Randy melirik jam tangan bermerk nya.
“Tujuh menit lagi.”
Tanpa mengucapkan terima kasih pada Randy, Prissa langsung menarik Randy untuk
mengikutinya. Randy yang kaget hanya bisa menurut. Bergejolak juga hatinya
tangannya dipegang seperti ini oleh Prissa. Tanpa Ia sadari, senyum tipis
terukir di wajah tampannya.
Jika gadis –
gadis yang menjadi fangirlnya Randy melihatnya, dalam hitungan detik mereka
pasti pingsan. Hampir sama dengan Stevan, Randy juga memiliki kepribadian
nyaris sempurna. Tampan, keren, pintar. Walaupun ketus dan dingin terhadap
orang – orang disekitar terkecuali pada Prissa tentunya. Tapi justru itu yang
menjadi alasan fangirlnya untuk mengatakan bahwa Randy memang cool.
Agak tak rela
hati Randy ketika Prissa melepas pegangannya pada tangan Randy. Namun Ia
sembunyikan rasa kecewa itu dibalik wajah dinginnya. Prissa berlari lebih cepat
dari Randy yang tertinggal dibelakang.
***
“Ah, semoga
Prissa ada di kelas.” Kata Bella sambil memeriksa handphone Prissa yang ada di
sakunya. Dasar Prissa, seenaknya meninggalkan benda mahal itu diatas mejanya.
Bella baru saja
datang dari toilet ketika akan menuju kelas Prissa. Diliriknya jam tangannya
yang berwarna coklat klasik, beberapa menit lagi bel masuk akan berbunyi. Ia
harus buru – buru. Kemudian Ia melewati belokkan menuju kelas Prissa. Brukk…
Kejadian klasik. Ia menabrak seorang pria, yang err… Tampan? Ah, segera Ia
tepis cuplikan – cuplikan yang ada di novel romansa ketika ada kejadian seperti
ini.
“Maaf, gue buru –
buru.” Kata Bella sambil menunduk. Manis, batin Bella. Ia tak kuat menahan
senyumnya melihat sosok sempurna yang ditabraknya itu. Postur tubuh yang
sempurna, senyum manis itu. Ahh, hatinya terasa meleleh. Ia tak pernah merasa
sekagum ini. Bahkan pada Stevan yang juga kurang lebih sama tampannya dengan
pemuda ini. Tentu saja pemuda ini lebih tampan, jauh lebih tampan. Itu
pendapatnya.
Baru saja Ia akan
melengos pergi, pemuda itu menahan tangannya. Deg. Aliran darahnya terhenti
seketika. Apakah Ia akan mati sekarang?
“Lo Bella?” Tanya
pria manis itu. Bella terkejut pria manis itu mengetahui namanya.
“Y-ya. Kenapa?”
Tanya Bella balik.
“Nah, tadi gue
mau ke kelas lo sama Prissa. Mau ngambil hp nya Prissa yang ketinggalan.”
Jelasnya. “Oya, gue Randy.” Kata Randy menjulurkan tangannya. Dengan senang
hati dibalas oleh Bella.
Baru saja Bella
mengeluarkan android milik Prissa, Prissa datang mengagetkannya dari belakang.
“Woy, ngapain lo
berdua. Ciee Randy, bukannya nemenin gue malah nyangkut disini.” Kata Prissa.
Sukses membuat pipi Bella bersemu merah. Randy hanya memasang wajah datarnya. “Lo
juga, gue cariin di kelas malah ga ada. Mana android gue?” Kata Prissa. Lalu
Bella menyerahkan android yang tadi baru ia ambil.
“Ya gue kan ga
tau Pris. Lagian gue dari toilet juga tadi. Lo juga sih pakai ninggail android
lo segala.” Sungut Bella. Prissa terkikik kecil.
“Hehe. Maaf.
Yaudah, gue dama Randy balik ke kelas dulu ya. udah kenalan belum kalian?” Goda
Prissa. Bella semakin bersemu. Apa – apaan si Prissa.
“Cie muka Bella
merah. Haha. Gue balik dulu. Pedekate nya ntar aja.” Kikik Prissa melengos
pergi sambil menarik tangan Randy. Membuat Randy sedikit begejolak. Kemudian
melontarkan kekesalannya pada Prissa yang mengejeknya.
Bella bisa
melihat ekpresi muka Randy yang mendadak berubah ketika tangannya di tarik oleh
Prissa. Sedikit nyeri. Tapi Ia yakin Prissa tak memiliki hubungan khusus dengan
Randy. Ah, apa yang dia pikirkan. Ia bahkan belum 10 menit mengenal pemuda itu.
Ia tak boleh begini. Pikir Bella. Kemudian kembali ke kelas.
***
Itu dia gadis
manisnya. Berjalan menuju ke arahnya. Ah tidak, dia berjalan menuju mejanya
yang arahnya tepat disamping mejanya. Stevan sudah cukup senang berada di
posisi ini. Lihat gadisnya, semakin manis. Kapan dia dapat mengobrol berdua
dengannya? Pikir Stevan. Bahkan menegurnya saja Ia tak pernah. Stevan tersenyum
miris.
“Emm, Ki.. Lo
punya pen lagi ga? Pulpen gue habis tintanya. He” Ujar Bella kepada pria yang
duduk disampingnya.
“Yah, ga ada tuh
Bell. Kita gantian aja makai pulpennya. Biar romantis gituu…” Kata Kiki
nyengir. Bella mengacuhkannya. Bagaimana ini, Ia tak bisa menulis catatan dari
guru nantinya. Dan tentu saja Ia tak bisa meminjam catatan kepada anak – anak
kelasnya yang lain. Pasti mereka tidak mau. Sebenarnya masih banyak anak – anak
cowok di kelasnya yang bersedia meminjamkan catatannya pada Bella, jika perlu
dengan pemiliknya juga. Tetapi Bella tidak mau lagi berurusan dengan para cewek
– cewek monster itu. Ia sudah muak dimusuhi secara sepihak. Baiklah, mungkin
kali ini Ia harus pasrah pada nasib. Tidak mencatat sekali – sekali mungkin
lebih baik juga.
Apa dia bilang?
Pulpennya habis tinta? Itu dia. Ini kesempatannya untuk mengobrol dengan gadis
manisnya itu. Kebetulan Ia selalu membawa pulpen cadangan, jadi apa salahnya Ia
mengambil kesempatan ini. Siapa tau setelah ini ia bisa mendekatinya perlahan
lalu memiliki gadisnya. Batin Stevan. Tak mampu lagi menahan kebahagiaannya
yang bergejolak untuk membayangkan gadisnya menjadi miliknya seorang itu.
“Gue ada pulpen
cadangan nih. Ambil gih..” Kata Stevan sambil tersenyum semanis mungkin. Semoga
senyumnya berkesan buat Bella.
Bella bingung.
Bukan Ia tak butuh pertolongan. Tapi apakah jika Ia menerima pulpen itu Ia langsung
dibunuh massal oleh cewek – cewek yang tengah memandangnya horor sekarang ini.
Bella gugup. Bingung harus berbuat apa. Stevan mendengus, Ia tau penyebab Bella
seperti ini.
“Ambil, dan gue
bakal beresin yang lain.” Katanya datar. Bella mengangguk dan menerima pulpen
itu. Seketika itu Stevan beralih pandangan keseluruh penjuru membalas tatapan
horor cewek – cewek dikelasnya. Tatapan horor yang jauh lebih mematikan hingga
dalam hitungan sepersekian detik semua cewek – cewek itu berbalik. Bella sampai
begidik ngeri. Seram juga, pikirnya.
“Udah. Gue ga apa
kok. Ma-makasih ya..” Kata Bella tersenyum. Sedikit takut juga dengan tatapan
horor tadi. Stevan mengangguk. Kembali tersenyum manis.
Itu manis banget
tadi. Senyum itu benar – benar manis. Sungguh Ia tak mampu untuk tak tersenyum
lagi. Walaupun dibibirnya yang terbentuk kini hanyalah seulas senyum tipis.
***
Stevan sedang
dalam keadaan bahagia sekarang. Rasanya Ia malas beralih dari wajah manis
Bella-nya itu. Tapi sekarang sudah bel pulang. Mau tak mau Ia kehilangan momen
memandang Bella-nya lebih lama lagi. Ohya, Ia baru ingat hari ini jadwalnya
Bella piket. Ia akan pulang telat hari ini. Stevan menyeringai kecil. Sedikit
tambahan waktu untuk melihat Bella-nya itu.
Bella mengambil
sapu dilemari untuk memulai piket. Kelas sudah sepi, hanya tersisa murid –
murid yang piket sekarang. Dan… Stevan? Apa yang dia lakukan? Dan apa – apaan
tatapan itu. Tatapan yang seolah – seolah Bella-lah satu – satunya objek
diruangan ini. Bella begitu terusik dengan tatapan itu. Ia merasa tak nyaman. Ah,
sudahlah. Ia hanya perlu menghiraukannya. Dan menganggapnya seolah – olah tak
ada.
“You’re
insecure.. Don’t know what for. You’re turning heads when you walk through the
door. Don’t need make up, to cover up. Being the way that’s you’re is enough..
Everyone else in the room can see it. Everyone else but you!” Kata Stevan
bernyanyi riang, meng-cover lagu milik grup boyband negara barat yang sedang
naik daun itu.. Tak perduli subjek – subjek dikelasnya menatapnya aneh. Bella lebih
suka menghiraukannya.
Subjek – subjek
bergender wanita minus Bella mulai berbisik. Entah menggerutu apa. Sedangkan
yang pria menatap Stevan dengan pandangan menantang. Tak suka jika Bella digoda
seperti itu. Ya, mereka semua tau Stevan bernyanyi seperti itu pasti hanya
untuk Bella. Stevan hanya tertawa pelan. Meremehkan tatapan yang dipanahkan
kepadanya. Toh, mereka hanya berani menatapnya dengan jarak sejauh itu. Mana
berani mereka dengan Stevan yang merupakan anak konglomerat di sekolah ini,
Stevan yang memiliki sebuah band nomor satu yang semua anggotanya killer.
Termasuklah dirinya.
Huh. Sepertinya
dia harus menunggu diluar saja. Agak gerah didalam, pikir Stevan.
Bella telah
selesai melaksanakan piket. Ia menaruh kembali sapu yang Ia pakai tadi. Cewek –
cewek yang satu kelompok piket dengannya datang mendekat. Ada apa ini. Batin
Bella.
“Lo jangan pernah
ngerebut pangeran kita!” Kata cewek yang berambut sebahu. Dengan mengucapkan
kalimat sepatah sepatah dan pelan, Ia berhasil membuat Bella gentar.
“G-gue gak pernah
mau ngerebut pangeran kalian itu! Dan gue ga suka sama dia!” Cicitnya melawan.
Baru saja cewek yang lain akan membalas ucapannya dengan kalimat pedas. Suara
dehaman seseorang membatalkan niat mereka.
“Hem.” Deham
Stevan sambil bersandar di dinding dekat lemari. Cewek – cewek itu segera
membubarkan diri mengetahui siapa pelaku yang membatalkan labrakan mereka itu.
Mereka pergi sambil menggerutu.
“Makasih. Tapi
tolong jangan pernah dekatin gue lagi.” Kata Bella hampir melangkah pergi. Tapi
Stevan tak begitu saja membiarkan gadisnya itu pergi seenaknya setelah
berbicara seperti itu.
“Maksud lo apa?
Lo mikirin omongan mereka? Heh” Remehnya kesal. Bella mengerutkan kening.
“Gara – gara
masalah gini semua orang ngejauhin gue. Lo masih mau nambah masalah gue?” Kata
Bella dengan nada sedikit marah.
“Kenapa sih lo
mikir omongan mereka? Mereka tuh emang selalu gitu dengan semua orang. Lo harus
bener – bener ngobservasi tingkah murid – murid di sekolah ini. Kalau lo capek
dengan keadaan ini, gue mau kok jadi temen lo?” Ujar Stevan. Bella hanya
menghembuskan nafas lelah. Stevan masih memegang lengannya.
“Jadi temen lo
dan gue bakal benar – benar dibunuh sama fangirl lo.” Jawab Bella. Stevan tak
mengerti lagi bagaimana caranya membuat gadis ini paham.
“Mereka ga bakal
berani macem – macem sama lo. Selama ada gue? Oke. Gue mau jadi temen lo.
Bell…” Kata Stevan menatap sendu Bella. Berharap Bella mau menerimanya.
Kebingungan
memang akhir – akhir ini senang sekali melandanya. Disatu sisi Ia tak mendapati
satupun niat jahat dari pemuda didepannya ini. Disatu sisi juga Ia tak mau
benar – benar diincar oleh kawanan fangirl pemuda itu.
“Apapun yang
terjadi sama lo, tanggung jawab gue. Dan gue ga bakal pernah biarin mereka
nyentuh seinci pun kulit lo.” Kata Stevan serius. Bella menatap pemuda
didepannya. Mencari – cari kepastian disana.
“Oke g-gue mau.”
Ujar Bella ragu. Berharap ini pilihan yang bagus.
Stevan sangat
bahagia. Ia semakin dekat dengan gadis manisnya. Dengan senyum sumringah Ia
lalu menangkup wajah Bella. Bella sedikit kaget.
“Gue bakal jagain
lo sampai kapanpun.” Kata Stevan. Kemudian menurunkan tangannya.
“Lo gak perlu
kali sampai segitunya.” Kata Bella.
“Kenapa?” Tanya
Stevan bingung.
“Kita kan cuman
teman. Tapi lo udah bersikap kayak polisi gitu sama gue.” Celos Bella. Stevan
tertawa pelan.
“For now we’re
sure just friend.” Kata Stevan tersenyum penuh arti. Bella tak begitu mengerti
apa maksud Stevan berbicara seperti itu. Kemudian memutuskan untuk pulang saja.
“Sekarang atau
nanti kita tetap temen. Udah ah, gue pulang dulu ya.” Kata Bella asal. Tak tau
perkataan itu berhasil merusak hati Stevan seketika.
“Eh Bell, tunggu.
Emmm…” Kata Stevan ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Dan memilih untuk
menggantinya saja. “…lo pulang sama gue ya.” Lanjutnya.
“Ga usah deh
Stev, gue nunggu supir gue jemput aja.” Jawab Bella melangkah pergi.
“Bella,
tunggu!” Seru Stevan masih berdiri ditempatnya berpijak. Bukannya Ia tak ingin
mengejar gadisnya. Tapi hatinya kini sedang berantakan layaknya kaca yang pecah
kalah mendengar tuturan Bella yang lalu. Jika hatinya meronta kesakitan, apakah
Ia akan berhenti untuk mendapatkan gadis yang telah diklaimnya sebagai Bella-nya itu?
To be continue....
Bagaimana? Tolong dikomentari ya. Saya terima flame, kritik dan saran. Apapun komentar anda :)
No comments:
Post a Comment
I accept all kind of comments (including flame). I need your opinion about my works, so I'll better than this time. Don't forget to comment, guys :)